Minggu, 19 Juni 2011

Evaluasi ubarnisasi Kota-kota di Indonesia darai perspektif ekonomi perkotaan (studi kasus Kota DKI Jakarta)

Evaluasi ubarnisasi Kota-kota di Indonesia darai perspektif ekonomi perkotaan (studi kasus Kota DKI Jakarta)
A. Evaluasi

1. Defenisi Evaluasi
Defenisi evaluasi adalah suatu proses pengambaran, pengumpulan informasi dan menyajikannya untuk sebagai bahan penilaian, pertimbangan, dalam memutuskan suatu kebijakan atau keputusan. prosesnya tetap harus berlanjut sampai kemungkinan untuk merevisi kembali apabila terdapat adanya kesalahan.
Defenisi Evaluasi menurut Cronbach (1982) :
a. Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.
b. Evaluasi adalah suatu seni,tidak ada satu pun evaluasi yang sempurna, walaupun dilakukan dengan teknik yang berbeda-beda.
c. Evaluator sebagiannya tidak memberikan jawaban terhadap suatu pernyataan khusus.bukanlah tugas seorang evaluator memberikan rekomendasi pertimbangan tentang diteruskan dan tidaknya sesuatu program .
d. Evaluasi merupakan suatu proses terus menerus sehingga di dalam proses kegiatannya di mungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan adanya psesuatu kesalahan.
e. Didalam kerjanya evaluator mungkin saja belum dapat dengan tajam merumuskan pernyataan untuk menggali data. Baru di dalam proses kegiatan yang terus menerus maka evaluator menjadi mantap memasuki dan menyelami permasalahan.
f. Hendaknya evaluator menggunakan berbagai teknik dan instrument sehingga mampu mampu mengunkap bentuk aspek.
g. Kesimpulan tentang evaluasi hendaknya merupakandeskripsi yang jelas atau menunjukan hubungan sebab-sebab akibat tetapi tidak memberikan penilaian.untuk memperkarakan deskripsi ,evaluator dapat mengajukan asumsi-asumsi yang didukung oleh data.
Defenisi evaluasi menurut Bloom et,al (1971) :
· Evaluasi adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk memetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam pribadi siswa.
Defenisi evalausi menurut Stufflebeam el,al (1971) :
· Evaluasi merupakan proses penggambaran ,memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
2. Tujuan Evaluasi.
a. Kegiatan yang dilakukan untuk mengukur, membandingkan dan menilai sesuatu yang telah dijadikan sebagai keputusan, dan yang telah di kerjakan atau dilakukan, dengan melihat standar-standar ukuran yang dijadikan tolak ukur baik atau buruk, berhasil atau tidak berhasil.
b. Kegiatan tindak lanjut dari hasil kegiatan (keputusan) akan dari keputusan yang telah diambil dan dikerjakan sebelumnya.
3. Proses dan Teknik Evaluasi.
Setiap keputusan yang telah disepakati dan yang akan dikerjakan sesuai dengan program kerja tentunya harus melewati suatu proses untuk mencapai tujuan dan misi. Tetapi di dalam melakukan suatu kegiatan belum tentu sesuai dengan keinginan, hal tersebut dapat terjadi kapan dan di mana saja karena beberapa faktor seperti : sumber daya manusia yang tidak siap baik secara kualitas maupun kuantitas, kurangnya data yang dikumpulkan dan kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung, sehingga diperlukan manejemen dan teknik evaluasi untuk meminimalkan kesalahan yang akan terjadi.
Secara garis besar proses evaluasi dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
· Persiapan.
· Pelaksanaan.
· Evaluasi.
Dari ketiga proses diatas dapat diketahui tugas yang diprioritaskan, selanjut mengerjakan tugas yang perlu untuk mendukung pencapaian tujuan dengan berdasarkan dari hasil revisi, sehingga visi dan tujuan dari hasil keputusan dapat sesuai dengan harapan 
4. Kesimpulan dari Defenisi Evaluasi
1. Evaluasi adalah suatu proses pengambaran, pengumpulan informasi dan menyajikannya untuk sebagai bahan penilaian, pertimbangan, dalam memutuskan suatu kebijakan atau keputusan. Prosesnya tetap harus berlanjut sampai kemungkinan untuk merevisi kembali apabila terdapat adanya kesalahan.
2. Evaluasi adalah Kegiatan yang dilakukan untuk mengukur, membandingkan dan menilai sesuatu yang telah dijadikan sebagai keputusan.

B. PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN
Urbanisasi merupakan suatu proses persilangan antara masalah geografis dan manusia akibat pengaruh ekonomi. Ekonomi dipandang sebagai suatu dorongan, faktor major, yang menyebabkan proses-proses transformasi dan reformasi berlangsung. Kota sendiri mengalami perubahan akibat dorongan ekonomi tersebut, dimana salah satunya bergerak akibat proses urbanisasi itu tersebut.
a.      Apa itu urbanisasi?
Sebenarnya apa arti dari urbanisasi? Kamus Besar Bahasa Indonesia[1] menyebutkan bahwa ur·ba·ni·sa·si diartikan sebagai : 1 perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan): pembangunan desa dapat membendung –; yang kedua adalah 2 perubahan sifat suatu tempat dari suasana (cara hidup dsb) desa ke suasana kota.
Konsep urbanisasi sendiri dapat berubah-ubah menyesuaikan dengan kerangka pikirnya. Karena itu, Ningsih (2002) memberikan pertimbangan dalam rangka menemukan sebuah defenisi atau konsepsi urbanisasi[2], dimana pertimbangan ini didasarkan atas sifat yang dimiliki arti dan istilah urbanisasi, yaitu multi-sektoral dan kompleks, misalnya pertama. Dari segi demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Kedua, dari segi ekonomi, urbanisasi adalah perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaannya di bidang pertanian, beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja kasar yang sifatnya non agraris di kota. Masalah-masalah yang menyangkut mata pencaharian sektor informasi atau yang lebih dikenal dengan istilah pedagang kaki lima.
Ketiga, dalam pengertian sosiologi maka urbanisasi dapat dikaitkan dengan sikap hidup penduduk dalam lingkungan pedesaan yang mendapat pengaruh dari kehidupan kota. Dalam hal ini apakah mereka dapat bertahan pada cara hidup desa ataukah mereka mengikuti arus cara hidup orang kota yang belum mereka kenal.
b. Sebab Dan Akibat Urbanisasi
Demografi, ekonomi dan sosiologi menyebutkan bahwa urbanisasi memindahkan penduduk ke wilayah yang lebih berkembang akibat adanya pull factor. Namun untuk mencari penyebab dan akibat dari urbanisasi perlu diperhatikan terlebih dahulu pengertian atau dua definisi dari urbanisasi yang mempunyai sudut pandang geografis, karena dari dua defenisi berikut tercermin berbagai implikasi dari urbanisasi[3], yakni :
1. “Urbanization studies the geographic concentration of population and non agricultural activities in urban environmental of varying size and form”.
2. “Urbanization studies the gegraphic diffusion of urban values and behavior and also organizations and institutions”.
c. Urbanisasi dan Urban Economics
Untuk dapat memahami lebih baik mengenai fungsi ekonomi sebagai faktor pendorong (pull factor) terjadinya proses urbanisasi, kita perlu memahami kaitan proses urbanisasi dengan ekonomi perkotaan. Ekonomi perkotaan sendiri secara luas merupakan isu-isu perkotaan seperti kejahatan, pendidikan, angkutan umum, perumahan, dan keuangan pemerintah daerah. Jika lebih sempitnya, ekonomi perkotaan dalam Urban Economics[5] adalah cabang ekonomi mikro yang mempelajari tata ruang perkotaan dan lokasi rumah tangga dan perusahaan.
Analisis ekonomi perkotaan banyak bergantung pada model tertentu tata ruang perkotaan, model kotamonocentric yang dirintis pada tahun 1960 oleh William Alonso, Richard Muth, dan Edwin Mills. Ketika kebanyakan teori ekonomi neoklasik tidak memperhitungkan hubungan spasial antara individu dan organisasi, ekonomi perkotaan lebih berfokus pada hubungan spasial ini untuk memahami motivasi ekonomi mendasari pembentukan, fungsi, dan perkembangan kota, termasuk proses urbanisasi tersebut.
Sejak pencetusannya pada 1964, model kota monocentric William Alonso sudah berbentuk cakramCentral Business District (CBD) dan wilayah pemukiman sekitarnya telah menjadi titik awal untuk analisis ekonomi perkotaan. Konsep Monocentricity sendiri menjadi lebih lemah dari waktu ke waktu karena perubahan teknologi, terutama karena pengaruh sistem transportasi yang lebih cepat dan lebih murah (yang memungkinkan penumpang untuk hidup jauh dari pekerjaan mereka di CBD) dan komunikasi (yang memungkinkan operasi back-office untuk pindah keluar dari CBD). Selain itu, penelitian terbaru juga telah berupaya untuk menjelaskan polycentricity dijelaskan di Edge City milik Joel Garreau. Beberapa pengaruh lain dari urbanisasi bagi bentuk perkotaan akan dijelaskan lebih jauh dalam model-model seperti faktor utilitas dari sewa lahan rata-rata yang dan fungsi ekonomi aglomerasi.
Pengaruh ekonomi yang mendorong terjadinya urbanisasi juga dijelaskan dalam teori-teori lokasi von Thünen, Alonso, Christaller, dan Lösch yang dimulai proses spasial ekonomi dalam buku Urban Dynamics and Growth oleh Capello & Nijkamp pada tahun 2004. Disebutkan bahwa keterbatasan alokasi sumber daya mendorong fenomena ekonomi untuk berlangsung melintasi ruang geografis, karena itu fokus alokasi sumber daya di seluruh ruang akan berkaitan langsung dengan faktor ekonomi.
Lebih jauh lagi, faktor ekonomi dianalisa oleh Arthur O’Sullivan mampu mempengaruhi wilayah regional yang lebih jauh lebih besar melalui proses urbanisasi. Karena itu tulisan ini akan mencoba mengevaluasi enam tema[7] yang disebutkan beliau mempengaruhi perkembangan suatu kota akibat pengaruh proses urbansasi yang muncul dari dorongan ekonomi, yaitu : kekuatan-kekuatan pasar dalam pengembangan kota, penggunaan lahan dalam kota, angkutan kota, masalah perkotaan dan kebijakan publik, perumahan dan kebijakan publik, dan pengeluaran pemerintah daerah dan pajak.
2. URBANISASI DI KAWASAN PERKOTAAN
Urbanisasi pada dasarnya merupakan persentase penduduk perkotaan, karena itu Urbanisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan. Untuk dapat melakukan evaluasi pengaruh urbanisasi terhadap perekonomian Kota Jakarta, terlebih dahulu kita harus memiliki basis data yang baik akan gambaran perkembangan tingkat migran dan ubanisasi di Indonesia pada umumnya dan DKI Jakarta pada khususnya.
a. Urbanisasi Kawasan Perkotaan di Indonesia
Biro Pusat Statistik Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 1980 migran (penduduk yang bermigrasi) di Indonesia berjumlah 3,7 juta jiwa, dan angka tersebut meningkat menjadi 5,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan sedikit menurun menjadi 4,3 juta jiwa pada periode 1990-1995. Dengan demikian secara kumulatif diketahui bahwa sampai tahun 1980, jumlah penduduk Indonesia yang pernah melakukan migrasi adalah 11,4 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 17,8 juta jiwa.
Lebih lanjut, data survei penduduk antarsensus (Supas) 1995 (yang dikutip dari Biro Pusat Statistik) memperlihatkan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995.
Menggunakan data perkembangan migran yang sama, diproyeksikan penduduk daerah perkotaan berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD) untuk tahun 2000, 2005, 2010, 2015, 2020 dan 2025. Yang hasilnya dapat disimak pada tabel berikut ini. Proyeksi angka tersebut diatas sudah diasumsikan oleh tiga faktor sebelumnya yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan
Tabel 1
Presentase Penduduk Daerah Perkotaan per Provinsi, 2000-2025
Propinsi
2000
2005
2010
2015
2020
2025
Nanggroe Aceh Darussalam
23.6
28.8
34.3
39.7
44.9
49.9
Sumatera Utara
42.4
46.1
50.1
54.4
58.8
63.5
Sumatera Barat
29.0
34.3
39.8
45.3
50.6
55.6
Riau
43.7
50.4
56.6
62.1
66.9
71.1
Jambi
28.3
32.4
36.5
40.6
44.5
48.4
Sumatera Selatan
34.4
38.7
42.9
47.0
50.9
54.6
Bengkulu
29.4
35.2
41.0
46.5
51.7
56.5
Lampung
21.0
27.0
33.3
39.8
46.2
52.2
Kepulauan Bangka Belitung
43.0
47.8
52.2
56.5
60.3
63.9
Dki Jakarta
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
Jawa Barat
50.3
58.8
66.2
72.4
77.4
81.4
Jawa Tengah
40.4
48.6
56.2
63.1
68.9
73.8
D I Yogyakarta
57.6
64.3
70.2
75.2
79.3
82.8
Jawa Timur
40.9
48.9
56.5
63.1
68.9
73.7
Banten
52.2
60.2
67.2
73.0
77.7
81.5
Bali
49.7
57.7
64.7
70.7
75.6
79.6
Nusa Tenggara Barat
34.8
41.9
48.8
55.2
61.0
66.0
Nusa Tenggara Timur
15.4
18.0
20.7
23.5
26.4
29.3
Kalimantan Barat
24.9
27.8
31.1
34.8
39.0
43.7
Kalimantan Tengah
27.5
34.0
40.7
47.2
53.3
58.8
Kalimantan Selatan
36.2
41.5
46.7
51.6
56.3
60.6
Kalimantan Timur
57.7
62.2
66.2
69.9
73.1
75.9
Sulawesi Utara
36.6
43.4
49.8
55.7
61.1
65.7
Sulawesi Tengah
19.3
21.0
22.9
24.9
27.3
29.9
Sulawesi Selatan
29.4
32.2
35.3
38.8
42.6
46.7
Sulawesi Tenggara
20.8
23.0
25.6
28.5
31.8
35.5
Gorontalo
25.4
31.3
37.0
42.8
48.2
53.2
Maluku
25.3
26.1
26.9
27.9
28.8
29.9
Maluku Utara
28.9
29.7
30.6
31.5
32.5
33.6
Papua
22.2
22.8
23.5
24.3
25.1
26.0
Tabel  diatas menyajikan tingkat urbanisasi per provinsi dari tahun 2000 sampai dengan 2025. Untuk Indonesia, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Khusus untuk DKI Jakarta, tingkat urbanisasinya telah mencapai 100%.
Ada sedikit perbedaan antara mobilitas dan migrasi penduduk. Mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II, namun tidak berniat menetap di daerah yang baru. Sedangkan migrasi didefinisikan sebagai perpindahan penduduk yang melewati batas administratif tingkat II dan sekaligus berniat menetap di daerah yang baru tersebut. Di dalam pelaksanaan perhitungannya, data yang ada sampai saat ini baru merupakan data migrasi penduduk dan bukan data mobilitas penduduk. Di samping itu, data migrasi pun baru mencakup batasan daerah tingkat I. Dengan demikian, seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika propinsi tempat tinggal orang tersebut sekarang ini, berbeda dengan propinsi dimana yang bersangkutan dilahirkan. Selain itu seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika propinsi tempat tinggal sekarang berbeda dengan propinsi tempat tinggalnya lima tahun yang lalu.
b. Urbanisasi di Kota Jakarta
Kota Jakarta sebagai metropolitan dalam perkembangannya saat ini telah dihuni oleh sekitar 9 juta penduduk di malam hari, dan sekitar 12 juta penduduk di siang hari, pergerakan masuknya para penglaju ini menambah masuknya 600.000 kendaraan bermotor setiap harinya ke Jakarta, aliran tersebut di belum termasuk aliran 11 juta kendaraan bermotor warga Jakarta yang melaju setiap harinya dan senantiasa bertambah 7% pertahunnya.
Berdasarkan hasil analisis data statistik, trend pada Provinsi DKI jakarta menunjukkan menurunnya tingkat migrasi netto (angka migrasi masuk dikurangi angka migrasi keluar), jika dibandingkan dengan angka migrasi netto provinsi Jawa Barat tercatat terjadi perubahan angka migrasi netto dari negatif menjadi positif pada kurun waktu 1990-1995. Selain itu, jumlah migran risen ke dan dari DKI Jakarta dalam kurun 1990-1995 mencapai 594.542 migran masuk, dan 823.045 migran keluar. Proporsi Migrasi masuk DKI (1995) 6,52%, dan migran keluar 9,03%, menunjukkan bahwa di DKI Jakarta lebih banyak migrasi keluar daripada yang masuk, (Selisih migrasi neto -228.000 orang). Tahun 1990 menunjukkan pola yang sama (-160.000 orang).
Delapan fungsi yang dimiliki Jakarta menjadikan kota ini memiliki banyak magnet untuk menjadi daerah tujuan kedatangan bagi banyak orang, sehingga tidak heran jika urbanisasi yang terjadi setiap tahunnya mengalirkan 200.000-250.000 jiwa dari berbagai wilayah ke Jakarta, belum lagi ditambah aliran penglaju harian yang mencapai 4.094.359 jiwa[11]. Kondisi ini menyebabkan kepadatan populasi di Jakarta yang berimbas pada berbagai permasalahan yang harus dihadapi, seperti polusi, persampahan, transportasi, kriminalitas, kelangkaan tanah untuk perumahan, dsb.
Pemasalahan inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah terbangun seperti yang disebutkan di atas diantaranya adalah disebabkan akibat :

  • ·         sulitnya pengendalian persebaran penduduk yang merata secara geografis,
  • ·         sulitnya pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota saja,
  • ·         jaringan jalan dan angkutan umum belum berpola sementara itu jumlah kommuter terus meningkat,
  • ·         belum terpadunya rencana tata ruang dengan rencana pembangunan wilayah jangka panjang dan rencana pembangunan wilayah jangka menengah,
  • ·         belum adanya kelembagaan antar kota yang mampu mengkordinasikan pemerintah-pemerintah kabupaten/kota di dalam wilayah Jabodetabek di bidang perencanaan tata ruang, perencanaan sektor, promosi investasi sarana dan prasarana kota, monitoring dan evaluasi pembangunan.
Selain inefisiensi di atas yang harus dihadapi Jakarta. kemacetan, tingginya polusi udara, banjir, kemiskinan, kelangkaan tanah, dsb merupakan beberapa dampak yang yang juga harus dihadapi Jakarta karena pengelolaan wilayah (Jabodetabek) yang berjalan sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan kesatuan wilayah sebagai suatu homogenitas potensi, padahal efek pembangunan dari wilayah-wilayah yang berdampingan tidak hanya dirasakan oleh wilayah itu sendiri namun juga oleh wilayah sekitarnya.
Seperti kejadian banjir tahunan yang kerap melanda Jakarta, selain karena karakter fisik wilayah Jakarta yang landai, banjir juga merupakan bagian dari dampak penggunaan tanah di hulu sungai Ciliwung (Bogor) yang tersegregasi dengan pengelolaan di hilir yang memang memiliki batasan wilayah administratif yang berbeda, padahal sepanjang Sepanjang Sungai Ciliwung merupakan wilayah homogen DAS yang memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi (one river one plan & management). Contoh lain, masuknya aliran manusia dengan kendaraan bermotornya setiap hari dari berbagai wilayah di sekitar Jakarta ke Jakarta untuk bekerja, sekolah maupun berbelanja menyebabkan situasi transportasi Jakarta padat dan berbagai polusi mewarnai Jakarta.
Penempatan TPA Jakarta di Kota Bekasi juga memberi dampak langsung baik sosial maupun ekonomi bagi penduduk di wilayah Bekasi khususnya wilayah Bantar Gebang sebagai TPA, baik dampak sosial maupun ekonomi. Belum lagi sumber air Jakarta yang telah tidak mungkin memenuhi kebutuhan penduduk Jakarta sehingga mengharuskan Jakarta untuk memperolehnya dari Bogor dan Tangerang, hal ini jelas berimbas pada berkurangnya stok air untuk penduduk di wilayah Bogor dan Tangerang sendiri, dan contoh-contoh lain tentang kerjasama sektoral yang terjadi antar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan Jakarta dan wilayah sekitarnya saling tergantung dan seharusnya saling memperkuat. Namun untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan ketersediaan jaringan yang dapat menghubungkan masyarakat di antar wilayah dengan mudah, yang didukung oleh kebijakan untuk koordinasi antara wilayah.
Masalah-masalah diatas secara garis besar timbul akibat kondisi DKI Jakarta yang overcapacity, karena itu diperlukan suatu mekanisme evaluasi akan pengaruh proses urbanisasi terhadap perkembangan Kota DKI Jakarta khususnya dari segi ekonomi perkotaan.
3. EVALUASI DAMPAK URBANISASI TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA DKI JAKARTA
Evaluasi pada dasarnya merupakan proses pemberian penilaian dalam suatu proses yang telah, sedang dan akan berlangsung. Eratnya kaitan pertumbuhan ekonomi dengan proses urbanisasi, menyiratkan suatu transisi dari pedesaan ke perkotaan (perumahan, komersial dan industri), dari ekonomi berbasis agraris ke ekonomi perkotaan yang berbasis industri dan jasa. Umumnya proses ini terjadi di daerah perkotaan negara-negara berkembang yang mengalami perubahan ekonomi struktural maupun di exurban (atau peri-perkotaan) daerah negara-negara maju kepada daerahhinterland-nya yang terkena dampak pertumbuhan ekonomi perkotaan.
Di Jakarta, perubahan dalam informasi, teknologi produksi dan transportasi
telah mempengaruhi proses urbanisasi. Perubahan dimaksud mengakomodasi hambatan jarak tempuh dan halangan faktor geografis, mengurangi kebutuhan untuk komunikasi bertatap muka dan sangat meningkatkan mobilitas transportasi barang, jasa, tenaga kerja, teknologi dan modal dari dan ke luar Kota Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari besarnya angka migran di DKI Jakarta setiap lima tahun sekali (sebagaimana disampaikan sebelumnya), bahwa perkembangan ekonomi perkotaan di DKI Jakarta terlah menjadi magnet yang mendorong laju globalisasi kawasan sekitarnya dan penduduknya untuk bermigrasi ke DKI Jakarta.
Besarnya arus masuk modal dan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment) telah mengubah wajah perkotaan di Indonesia khususnya di DKI Jakarta sebagai pusat perekonomian negara. Bank Indonesia (BI) pada Bulan September 2009 telah menunjukkan angka kuartal kedua tahun 2009 neraca pembayaran (BOP), indikator makro eksternal didasarkan pada perdagangan dan arus keluar modal, merekam Q2 surplus US $ 1,1 miliar, tapi turun 73 persen kuartal-ke – seperempat dibandingkan dengan kuartal pertama $ 3,9 miliar. Hal ini terutama disebabkan oleh qq 59 persen penurunan investasi langsung asing (FDI), untuk tingkat terendah sejak kuartal kedua tahun 2007, yang disebabkan oleh perlambatan ekonomi global.
Kita tidak akan membahas terlalu jauh kepada pengaruh ekonomi global bagi wajah ekonomi perkotaan DKI Jakarta, dan lebih memfokuskan kepada pengaruh dari proses urbanisasi itu sendiri. Namun, hal tersebut perlu dipahami bahwa, peningkatan masuknya arus modal dan FDI akan membutuhkan tenaga kerja pada sektor-sektor padat karya, yang kemudian mendorong kenaikan laju urbanisasi itu sendiri.
O’Sullivan sendiri menyebutkan[13] bahwa globalisasi telah memacu perekonomian perkotaan di negara-negara maju menjadi layanan semakin berbasis dengan penekanan pada penciptaan pengetahuan. Seperti DKI Jakarta yang ditahun 1990-an merupakan pusat pusat industri serta manufaktur berbasis ekonomi produksi, pada akhirnya sulit menghadapi tantangan kebutuhan tenaga kerja, bahan baku, transportasi, kenaikan upah dan harga lahan sehingga mengalami transisi dan merelokasi pusat produksi dan modal investasi ke wilayah hinterlandnya seperti di Kota Tangerang dan Kabupaten Bekasi. Sedangkan contoh di Amerika Serikat termasuk Taos, New Mexico dan Aspen, Colorado, penekanan mereka pada pemeliharaan lingkungan yang bernilai tinggi termasuk kemudahan utilitasnya, telah mendorong urbanisasi yang dihasilkan dari daerah pedesaan ke kawasan perkotaan sehingga menghadirkan tantangan yang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi di kawasan perkotaannya.
Meskipun peningkatan globalisasi telah jelas memiliki efek yang sangat berbeda bagi urbanisasi, efek regional beberapa faktor-faktor utama yang mendasari tingkat proses urbanisasi (kemajuan di bidang telekomunikasi, transportasi dan produksi teknologi) tetap serupa. Peter Mieszkowski dan Edwin Millspada tahun 1993 juga memaparkan bukti-bukti bahwa ada desentralisasi yang terjadi secara substansial pada daerah perkotaan akibat kemajuan di bidang telekomunikasi, transportasi dan produksi teknologi. Adalah menarik untuk melihat tren urbanisasi yang telah didokumentasikan dalam banyak negara maju dan berkembang (berdasarkan bukti-bukti empiris sebelumnya), termasuk perihal dekonsentrasi perkotaan, pembangunan pinggiran kota dan munculnya tata ruang perkotaan yang sifatnya polycentric. Proses ini juga dipengaruhi oleh pengaturan kelembagaan dan segudang kebijakan pola urbanisasi yang menyebabkan proses urbanisasi berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu wilayah ke wilayah lain. Meskipun demikian, jelas bahwa kekuatan dasar yang sama telah mempercepat laju
urbanisasi (khususnya, teknologi informasi dan transportasi perubahan), yang juga memberikan kontribusi bagi perubahan mendasar dalam tata ruang perkotaan di tingkat daerah dalam banyak negara, baik maju dan berkembang.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, globalisasi telah memacu perekonomian Kota DKI Jakarta, namun permasalahan akan kebutuhan tenaga kerja, bahan baku, transportasi, kenaikan upah dan harga lahan menghadirkan tantangan yang berkelanjutan bagi pembangunan ekonomi di kawasan perkotaannya. Ukuran untuk menilai terkendali atau tidaknya suatu proses urbanisasi; biasanya disebut sebagai primacy rate. Primacy rate ini diartikan sebagai kekuatan daya tarik suatu Kota terhadap kota-kota di sekitarnya. Sehingga semakin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi. Namun sayangnya data mengenai primacy rate di DKI Jakarta belum tersedia. Karena itu untuk mengevaluasi pengaruh urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi Kota DKI Jakarta akan digunakan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
a. Evaluasi Pengaruh Urbanisasi terhadap City Size
Kita sebelumnya sudah memahami bahwa, konsep agglomeration economies (input sharing, labor pooling, skills matching dan knowledge spillovers) dapat meningkatkan kualitas produksi akibat peningkatan efisiensi pekerja. Dengan demikian semakin besar ukuran kota tersebut, sangat dimungkinkan bahwa persaingan antar pekerja akan lebih tinggi (sehingga kualitas juga meningkat). Kota DKI Jakarta sendiri memiliki luas 740km2, paling luas dari kota-kota lain di Indonesia, bahkan ditingkat Asia sendiri. Namun perlu diingat, pengaruh agglomerasi ekonomi telah menyebabkan biaya hidup, transportasi, sewa lahan, dan lain sebagainya di DKI Jakarta yang berukuran sangat luas ini, menjadi semakin tinggi dibanding kota-kota lainnya.
\Berdasarkan data statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada Februari 2009, jumlah pendudukbekerja pada sektor Tersier tercatat 3.354,19 ribu orang, sedangkan layanan perkotaan misalnya sistem transportasi. Pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta, 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun, mengingat saat ini jumlah kendaraan bermotor di jakarta mencapai 6,3 juta kendaraan dan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 17 juta perjalanan, maka rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 92% (kendaraan pribadi) banding  8% kendaraan umum. Dengan demikian terdapat kesetidakseimbangan antara jumlah pekerja dengan daya dukung kota (utilitas) Kota DKI Jakarta.
Jika dibandingkan dengan daya dukungnya (utilitas=layanan), maka Kota DKI Jakarta dapat disimpulkan berukuran terlalu besar. Hal ini akan berimplikasi kepada upah pekerja, harga lahan, waktu tempuh dan produktivitas itu sendiri, sebagaimana dijelaskan secara mendetail oleh Sullivan. Sehingga demi tercapainya fungsi Kota yang lebih baik, sangat penting untuk memperhatikan keseimbangan antara utilitas yang disediakan dengan jumlah pekerjanya.
b. Evaluasi Pengaruh Urbanisasi terhadap Land Rents
Lahan, pada dasarnya tidak diciptakan, namun tersedia. Dengan semakin berkurangnya lahan maka dapat dipastikan nilainya akan meningkat. Karena itu keterbatasan lahan diruang perkotaan menjadi isu yang sangat kritis. Lahan bagi perkantoran, parkir, sarana umum, infrastruktur dan lain sebagainya mutlak dibutuhkan, yang jika dikaitkan dengan nilainya, tentunya ada kompensasi yang harus dibayarkan terkait dengan ketersediaannya.
Proporsi luas lahan terbangun di DKI melonjak tajam sejak 20 tahun terakhir. Jakarta Selatan yang dulu merupakan daerah resapan air, misalnya, kini menjadi wilayah permukiman yang padat dengan proporsi luas lahan lebih dari 70 persen. Di DKI Jakarta, harga sewa dan nilai pasarnya sangat dipengaruhi oleh aksesibilitasnya, dalam artian jarak dan kemudahan sarananya.
Hal ini berdampak kepada proses transisi perusahaan-perusahaan untuk memilih merelokasi kantornya menjauhi pusat distrik bisnis sehingga harus mengeluarkan kompensasi yang lebih besar atas jarak tempuhnya, dengan mempertimbangkan juga harga sewa dan nilai pasarnya dari lokasi kantor yang jauh dari pusat distrik bisnis tersebut.
O’Sullivan menilai[18], bahwa semakin jauh lokasi perusahaan dari pusat CBD, maka travel cost ke pusat CBD akan meningkat, sedangkan harga sewa dan nilai pasar menurun, sebaliknya, semakin dekat dengan pusat, maka travel cost akan menurun dan harga sewa dan nilai pasar akan meningkat. Di DKI Jakarta, besarnya kompensasi dari jarak dan harga ini disiasati dengan perencanaan bangunan vertikal, seperti membangun office building.
Selain itu, kompensasi atas peningkatan harga sewa laahn di DKI jakarta, telah memaksa para pekerja profesional kelas menengah dan atas yang berkantor di pusat Kota untuk tinggal di kawasan pinggir kota Jakarta untuk menghindari kemacetan perkotaan.
c. Evaluasi Pengaruh Urbanisasi terhadap Urban Transportation
Transportasi perkotaan dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan dan jumlah migran itu sendiri. Sebagai tulang punggung pergerakan dan berjalannya berbagai sektor perekonomian perkotaan, terhambatnya dukungan transportasi akan menghasilkan berbagai turunan masalah yang dirasakan secara langsung oleh pembangunan yang sedang dilakukan di berbagai sektor, seperti inefisiensi waktu tempuh untuk produksi, inefisiensi bahan bakar, polusi udara & kebisingan, dampak fisik lingkungan, dsb.
Masalah transportasi di DKI Jakarta sendiri merupakan buah dari implementasi perencanaan inkremental dan politis dalam penataan ruang yang tidak sepenuhnya mengikuti koridor yang ditetapkan dalam perencanaan komprehensif (induk), padahal transportasi merupakan kunci menyelesaikan masalah perkotaan di Jakarta. Untuk itu pengelolaan jaringan transportasi yang linkand match antar moda dan pembangunan sarana transportasi harus memiliki pola yang regional based tidak corridor based sehingga penduduk akan dapat berinteraksi dengan mudah dan nyaman, hal ini nantinya akan berbuah pada produktivitas yang tinggi dari sebuah kota.
Meningkatnya jumlah penduduk yang harus dilayani akibat pengaruh urbanisasi, juga menjadi faktor utama yang membebani sistem transportasi DKI Jakarta. Berdasarkan data statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta[19], terdapat 600 kendaraan (yang memuat 1,2 juta orang yang mobil) dari Botabekjur (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur) ke Jakarta, dengan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 17 juta perjalanan. Selain itu juga tercatat bahwa terdapat sekitar 269 kendaraan roda empat yang mengajukan STNK baru setiap harinya. Ini artinya layanan utilitas kota semakin tidak berimbang dengan jumlah penduduk kota, sehingga akan mengakibatkan fungsi kota menjadi semakin tidak kondusif dan berdampak kepada munculnya re-urbanisasi, sebagaimana disampaikan pada gambar dibawah ini.
Titik s merupakan kondisi dimana jumlah pekerja di DKI Jakarta masih dibawah daya dukung utilitas kota, pada kondisi ini, sistem transportasi Kota tidak berfungsi dengan baik, karena jumlah banyak kendaraan umum maupun fasilitas yang tidak dioperasionalkan karena jumlah penumpang masih sedikit. Kemudian terjadilah urbanisasi akibat pengaruh adanya kepentingan ekonomi.
Titik m merupakan kondisi dimana jumlah pekerja sudah memenuhi daya dukung utilitas kota DKI Jakarta. Pada Tahap ini fungsi transportasi kota berjalan dengan efektif, karena semua kendaraan umum dan fasilitas termanfaatkan dengan baik sehingga biaya operasional dan maintenance dari sistem transportasi kota dapat terpenuhi.
Titik h merupakan titik balik, dimana pada kondisi ini jumlah pekerja telah melebihi kapasitas sistem transportasi di Kota Jakarta. Akibatnya banyak penumpang yang tidak terlayani, sehingga proses ekonomi perkotaan tidak dapat berjalan dengan baik.
d. Evaluasi Pengaruh Urbanisasi terhadap Besaran Upah (Wages)
Urbanisasi juga memiliki pengaruhnya terhadap besaran upah para pekerja di suatu Kota. Sebagaimana disampaikan oleh O’Sullivan, bahwa proses urbanisasi secara tidak langsung akan meningkatkan kompetisi sesama kelas pekerja dikawasan perkotaan, yang pada akhirnya salah satu bentuk kompetisi tersebut adalah persaingan besaran upah. Semakin tinggi tingkat urbanisasi maka tingkat upah akan menurun. Namun penurunan ini akan ada batasannya, dimana pada suatu titik, para pekerja yang masih berada diluar kota memilih untuk tidak ber-urbanisasi ke dalam kota atau pekerja yang sudah ada didalam kota memilih untuk ber-re-urbanisasi untuk mencari tingkat upah yang lebih baik.
4. REKOMENDASI
Perkembangan proses urbanisasi sebenarnya tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh Pemerintah. Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.
Dengan demikian dapat terlihat adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat.
Jika urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar, mengapa proses urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan? Ada dua alasan mengapa urbanisasi perlu diarahkan.
Pertama, Pemerintah berkeinginan untuk sesegera mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa meningkatnya penduduk daerah perkotaan akan berkaitan erat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Data sebelumnya telah memperlihatkan bahwa suatu negara atau daerah dengan tingkat perekonomian yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi, dan demikian sebaliknya.
Karena itu Kota-kota industri di Indonesia (Bandung, Semarang, Surabaya dan sebagainya) pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen, sedangkan Kota DKI sendiri ada pada angka 100%. Bandingkan dengan Kota-kota berkembang lainnya, tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen.
Yang kedua adalah, dengan terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau yangtidak terkendali, akan dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri, seperti terlalu padatnya kawasan perkotaan, mahalnya biaya sewa lahan di pusat kota, layanan sistem transportasi yang memburuk, tingkat upah yang terus menurun akibat meingkatnya persaingan dan lain sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.
Karena itu diperlukan suatu pengaturan secara langsung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menangani laju urbanisasi ke dalam Kota, yang dapat diwujudkan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
a. Pertama, mengembangkan daerah-daerah hinterland Kota DKI Jakarta agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan, yakni fasilitas dan sarana prasarana pendukungnya harus memenuhi standar kegiatan ekonomi perkotaan.
Inti dari usulan kebijakan Pemerintah yang pertama ini merupakan upaya untuk “mempercepat” tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat “non-ekonomi”. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah sekitar kota agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap memiliki ciri-ciri kawasan hinterland, seperti tingkat kepadatan yang rendah, tingkat polusi yang kurang dan lain sebagainya. Dengan demikian, penduduk daerah hinterland tersebut masih tetap dapat beraktifitas ke pusat Kota walaupun tinggal di luar kota.
Beberapa cara yang dapat dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi tersebut antara lain dengan “memodernisasi” daerah hinterland tersebut sehingga memiliki sifat-sifat daerah perkotaan. Pengertian “modernisasi” daerah hinterland tidak semata-mata dalam arti fisik, seperti misalnya membangun fasilitas perkotaan, namun membangun karakter penduduknya sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Konsep ini serupa dengan model “urbanisasi pedesaan”. Dimana model “urbanisasi pedesaan” mengacu pada kondisi di mana suatu daerah secara fisik penduduknya masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang “kental”, namun karena “ciri penduduk” yang hidup didalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri, seperti antara lain mata pencaharian lebih besar di nonpertanian, sudah mengenal dan memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan, dan sebagainya, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.
Jika arahan kebijakan urbanisasi seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di DKI Jakarta dapat ditekan tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan sebaliknya, dengan munculnya “para penduduk” di daerah “pedesaan” yang “bersuasana perkotaan” tersebut, mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan ekosistem serta lingkungan alam.
b. Kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah “daerah penyangga pusat pertumbuhan”.
Arahan kebijakan kedua ini merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan. Pada kelompok ini, kebijaksanaan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu :
(a)     kebijaksanaan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi, penetapan suku bunga pinjaman dan pengaturan perpajakan bagi peningkatan pendapatan kota;
(b)    penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan tata ruang kota/ perkotaan, dan
(c)     penanganan masalah kinerja masing-masing kota.
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                            
Arnott, Richard; McMillen, Daniel P., eds (2006). A Companion to Urban Economics. Blackwell Publishing. ISBN 1405106298 . Blackwell Publishing. ISBN 1405106298. Retrieved from : http://books.google.com/books?id=_ZtmbEeRlXYC&pg= PR3&dq=A+Companion+to+Urban+Economics.+Blackwell+Publishing&hl=id#v=onepage&q=A%20Companion%20to%20Urban%20Economics.%20Blackwell%20Publishing&f=false
Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Perkiraan Urbanisasi Penduduk Kota-kota di Indonesia. http://www.datastatistik-indonesia.com/content/view/923/939/
Calderia, T (2000). City of walls: crime, segregation and citizenship in Sao Paulo. Berkeley: University of California Press. Fulton. Retrieved from : http://books.google.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar